Pernahkah Pioneers merasa sulit melepaskan pikiran-pikiran negatif yang terus mengganggu?
Tahukah bahwa apa yang kita pikirkan memiliki pengaruh besar terhadap kualitas hidup kita? Otak adalah organ yang sangat luar biasa, tidak hanya bertugas menjaga kelangsungan hidup, tetapi juga menentukan bagaimana kita menjalani kehidupan: Apakah dengan penuh ketenangan atau justru dibayangi oleh kekhawatiran dan stres.
Jika Pioneers pernah mengalami hal tersebut, mari kita pahami lebih dalam bagaimana cara kerja otak dalam memproses pikiran negatif, dan bagaimana kita dapat mengelolanya agar kesejahteraan mental tetap terjaga.
Nila setitik rusak susu sebelanga.
Sepuluh pujian tak sebanding dengan satu cacian.
Pioneers pasti pernah mendengar pepatah di atas yang menggambarkan betapa powerful - nya satu hal negatif di tengah berbagai hal positif yang terjadi di hidup kita. Apakah Pioneers bisa relate dengan hal tersebut?
Menariknya, kecenderungan untuk terjebak dalam pikiran negatif bukan sekadar soal “baper” atau perasaan semata. Fenomena ini dapat dijelaskan secara ilmiah melalui konsep negativity bias, yakni kecenderungan alami manusia untuk lebih peka terhadap informasi negatif, menyimpannya lebih lama, dan mengingatnya dengan lebih jelas dibandingkan informasi positif (Cherry, 2023; Jaworski, 2020).
Dalam kehidupan sehari-hari, Pioneers mungkin pernah mengalaminya. Misalnya, saat menyampaikan presentasi, kita cenderung lebih fokus pada satu wajah yang tampak bosan, ketimbang puluhan peserta lain yang menunjukkan antusiasme. Saat menerima umpan balik, satu kritik bisa terasa lebih membekas dibandingkan berbagai pujian.
Media juga memperkuat bias ini—berita negatif lebih sering ditampilkan karena dianggap lebih menarik perhatian. Akibatnya, persepsi kita terhadap dunia pun menjadi lebih gelap dari kenyataannya (Andersen, Djerf-Pierre, & Shehata, 2024). Bahkan dalam konteks klinis, negativity bias turut menjelaskan mengapa pengalaman traumatis begitu sulit dilepaskan, meskipun telah berlalu bertahun-tahun.
Sebelum buru - buru memberikan penilaian negatif kepada fenomena negativity bias, mari kita pahami bersama bahwa negativity bias adalah mekanisme adaptif yang secara evolusioner telah terbukti membantu organisme untuk bertahan hidup!
Setiap organisme, sejak dulu, harus menghadapi berbagai ancaman dari lingkungannya. Untuk itu, mereka mengembangkan strategi perlindungan yang khas: hewan memiliki cakar, taring, atau kemampuan berlari cepat; tumbuhan membentuk duri, mengeluarkan racun, atau aroma tidak sedap. Bagaimana dengan manusia? Sistem pertahanan utama kita adalah otak.
Manusia prasejarah hidup dalam lingkungan penuh bahaya; mulai dari predator buas, tumbuhan beracun, hingga cuaca ekstrem. Dalam situasi seperti itu, kepekaan terhadap potensi ancaman menjadi kunci antara hidup dan mati. Itulah sebabnya otak manusia berevolusi untuk selalu ‘memindai’ lingkungan sekitar, merespons ancaman dengan cepat, dan mengingat pengalaman negatif sebagai pelajaran penting (Carretié, Albert, López-Martín, & Tapia, 2009).
Meskipun hari ini kita tidak lagi berhadapan dengan harimau di hutan, ancaman yang kita hadapi berubah bentuk: komentar tajam dari atasan, ekspresi kecewa dari orang lain, berita buruk di media, atau ketidakpastian dalam hidup. Namun, otak kita masih menggunakan mekanisme yang sama, yaitu lebih sensitif terhadap hal negatif karena secara teoritis, lebih “aman” untuk bersiap menghadapi kemungkinan buruk daripada mengabaikannya (Carretié, dkk., 2009).
Penjelasan ilmiah tentang negativity bias ini diperkuat oleh berbagai studi. Salah satunya adalah penelitian awal dari Cacioppo, Cacioppo, & Gollan pada tahun 1998. Dalam eksperimen tersebut, partisipan diperlihatkan gambar-gambar yang memicu emosi positif, netral, dan negatif. Hasilnya? Gambar negatif memicu aktivitas elektrik otak yang jauh lebih tinggi dibandingkan gambar lainnya.
Lebih lanjut, amigdala memproses informasi negatif dan menyimpannya ke memori jangka panjang lebih cepat dibandingkan dengan informasi positif yang perlu ditahan lebih lama di memori jangka pendek, sebelum akhirnya diseleksi dan disimpan di memori jangka panjang (Vaish, Grossmann, & Woodward, 2008). Ini menjelaskan mengapa hal-hal negatif sering terasa lebih membekas dan sulit dilupakan
Saat kita berada dalam kondisi stres, otak secara otomatis akan mengalihkan fokusnya pada pemrosesan emosi yang cepat dan instingtual (Carretié, dkk., 2009). Dalam kondisi ini, kemampuan berpikir rasional menurun, sementara sensitivitas terhadap informasi negatif justru meningkat. Ini karena otak sedang mengaktifkan “mode bertahan hidup”, dan salah satu cara utamanya adalah dengan memperkuat kewaspadaan terhadap potensi ancaman.
Salah satu hormon utama yang dilepaskan saat stres adalah kortisol. Dalam jangka pendek, kortisol membantu tubuh untuk bersiaga. Namun, jika stres berlangsung terus-menerus, kadar kortisol yang tinggi justru bisa berdampak buruk terhadap keseimbangan emosi dan persepsi.
Penelitian oleh Neta, dkk. (2017) menunjukkan bahwa partisipan dengan suasana hati negatif cenderung menafsirkan ekspresi wajah yang ambigu—seperti ekspresi terkejut—secara negatif. Menariknya, kecenderungan ini diperkuat oleh peningkatan kadar kortisol. Artinya, hormon stres bisa memperkuat bias negatif dalam menilai situasi sosial, bahkan saat sinyal emosionalnya belum jelas.
Penelitian lain juga mendukung temuan ini. Kortisol, bersama hormon lain seperti norepinefrin (adrenalin), dapat memengaruhi kerja amigdala (bagian otak yang memproses emosi) dengan membuatnya lebih responsif terhadap rangsangan negatif dibandingkan positif (Kukolja dkk., 2008). Kombinasi ini diyakini berperan dalam munculnya dan berlanjutnya gangguan psikologis seperti kecemasan (anxiety disorders) dan depresi (major depressive disorder).
Tak hanya itu, studi dari Braund, dkk. (2019) menemukan bahwa stres kronis juga berdampak pada keterampilan sosial. Individu yang mengalami stres berkepanjangan cenderung menunjukkan bias negatif yang lebih kuat, serta kemampuan interpersonal yang lebih rendah.
Dengan kata lain, stres bukan hanya soal rasa tertekan—ia secara nyata mengubah cara otak kita memproses informasi, memperkuat persepsi negatif, dan bahkan mempengaruhi hubungan sosial kita. Maka, memahami dan mengelola stres menjadi langkah penting untuk menjaga kesehatan mental secara menyeluruh.
Mengatasi negativity bias bukanlah hal instan, namun bisa dilatih melalui kesadaran diri dan kebiasaan yang konsisten. Berikut beberapa strategi praktis yang dapat membantu Pioneers mengurangi pengaruh bias negatif dan membangun pikiran yang lebih seimbang:
Penelitian menunjukkan, untuk bisa terekam dalam memori jangka panjang, pengalaman positif perlu dipertahankan dalam atensi selama 10–20 detik. Semakin sering dilatih, semakin mudah otak mengenali dan menyimpan hal-hal positif secara otomatis.
Bagi Pioneers yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut, konseling atau terapi berbasis kognitif perilaku (CBT) telah terbukti efektif dalam membantu individu mengubah pola pikir negatif dan bisa dicoba.
Semua strategi ini adalah kebiasaan yang dibentuk secara bertahap ya Pioneers. Tidak perlu melakukan semuanya sekaligus! mulailah dari yang paling mudah bagi Anda, dan lakukan dengan konsisten. Dengan latihan rutin, Anda sedang melatih otak untuk keluar dari dominasi negativity bias dan mendukung kesejahteraan mental yang lebih stabil dan seimbang.
Referensi:
Vaish, A., Grossmann, T., & Woodward, A. (2008). Not all emotions are created equal: the negativity bias in social-emotional development. Psychological bulletin, 134(3), 383–403. https://doi.org/10.1037/0033-2909.134.3.383