Mengapa Remaja Bisa Nekat Bikin Konten Medsos Ekstrem Meskipun Membahayakan Diri Sendiri?

mengapa-remaja-bisa-nekat-bikin-konten-medsos-ekstrem-meskipun-membahayakan-diri-sendiri
                

Aksi remaja yang menghadang truk dan menabrakan diri demi konten media sosial tengah disorot tajam. Pasalnya, aksi ini sangat berbahaya karena menimbulkan korban jiwa.

Lantas, mengapa remaja bisa nekat bikin konten medsos meskipun membahayakan diri sendiri?

Psikolog Arina Megumi Budiani mengatakan fenomena ekstrem tersebut terjadi pada remaja salah satunya karena dilakukan tanpa pertimbangan matang.

Lebih lanjut, Arina menyebut hal tersebut karena dipengaruhi perkembangan otak di usia remaja yang cenderung belum bisa mengambil keputusan secara logis.

“Apalagi kalau kita bicara mungkin ini terjadi pada anak-anak atau remaja yang memang kalo dilihat perkembangan otak yang membantu dia untuk bisa mengambil keputusan secara logis, perencanaan dan lain sebagainya itu belum bertumbuh dengan matang,” kata Arina dalam dialog Sapa Indonesia Pagi Akhir Pekan di Kompas TV, Minggu (12/6/2022).

Selain itu, Arina juga menjelaskan hal tersebut juga terjadi karena adanya dorongan diri untuk viral dan berbeda di media sosial.

Bahkan, ia menduga hal itu terjadi lantaran remaja mengalami kecanduan terkait jumlah views dan likes di akun medsos pribadinya.

“Memang ya di dunia digital sekarang orang itu gampang sekali merasa tertarik dengan views yang banyak, atau likes yang banyak juga. Sayangnya candu itu tidak disertai dengan pertimbangan matang tentang risiko-risiko untuk membuat konten-konten yang tidak membahayakan diri sendiri,” jelasnya.

Kendati demikian, Arina tidak menyamaratakan seluruh perilaku remaja terhadap medsos karena menurutnya setiap orang biasanya memiliki motif yang berbeda.

Ia menuturkan, bisa saja seseorang ingin menjadi viral karena motif ekonomi. Atau kemudian bagi remaja, viral sebagai pembuktian diri untuk terlihat keren dan identitas di komunitas.

Bagi Arina, hal tersebut akan menjadi gangguan apabila menjadi dorongan yang tidak bisa dikontrol bahkan sampai pertimbangan logisnya tidak jalan.

“Selain itu juga kita perlu lihat, mungkin sosial media hanya menjadi satu sumber dia untuk mengekspresikan diri dan lain sebagainya. Kalau memang itu yang terjadi ada hal 
-hal yang harus diperhatikan dan perlu diwaspadai lagi,” tuturnya.

Oleh sebab itu, Arina menganggap penting dan perlu adanya pengawasan dari orang-orang sekitar. Artinya, ketika remaja dikenal belum bisa memutuskan sesuatu dengan logis, maka orang-orang sekitar dapat membantu salah satunya memutuskan mana yang berbahaya dan tidak.

Tak hanya bagi remaja, bahkan pengawasan dan bimbingan juga diperlukan bagi seorang dewasa muda sekira umur 20 tahunan.

“Jika diibaratkan butuh peran satu kampung untuk mendidik anak itu benar sekali, karena kita tidak tahu anak ini bisa dapet informasi dari mana dan dari medsos yg mana,” kata Arina.

Dalam hal ini Arina menerangkan, pengawasan yang dimaksud tidak hanya berupa larangan. Melainkan orang-orang sekitar bisa membantu memahami dan bisa mengarahkan remaja untuk berpikir lebih lanjut.

“Kalau dilarang tanpa alasan jadi termotivasi dan ingin mencoba. Jadi yang bisa dilakukan adalah membantu anak untuk memahami dan berpikir lebih lanjut. Apasih yang ada dipikiran dia tentang hal itu dan ditanya konsekuensi apa saja yang akan didapatkan,” terangnya.

Kemudian, jika sudah ditanya soal pikiran anak soal satu keputusan tertentu beserta konsekuensinya namun belum paham.

Maka, remaja atau anak-anak bisa diberikan pemahamanan sesuai dengan bahasa yang mudah mereka pahami. Sehingga kemudian, kesadaran bisa muncul bukan karena larangan orang lain melainkan muncul dari dalam diri.

Selain memberi pemahaman soal risiko, Arina mengungkapkan ada cara lain yang bisa dilakukan, yakni memahamkan mereka tentang pentingnya berperan dan membentuk identitas diri di dunia nyata.

“Kadang kita melihat hanya dilayar aja, namun luput bahwa gambar yang menayangkan 1-2 menit itu tidak menggambarkan kehidupan orang lain secara menyeluruh. Itu yang perlu disadari bahwa kita tidak bisa mengacukan diri hanya dari situ,” ungkapnya.

Dengan begitu harapannya, remaja yang identik dengan pencariam identitas akan terwadahi di kehidupan nyata. Misal, dengan mengikuti kegiatan sosial sehingga anak punya kebermaknaan dan identitas diri selain yang dilihat di medsos.

Shares