Sejak dulu hingga saat ini perbincangan mengenai konsep memaafkan (forgiveness) menjadi topik yang selalu hangat, bukan hanya saat terjadi di bulan Ramadhan namun juga terjadi ketika kita mau berproses untuk kematangan mental dan perjalanan spiritual diri. Pioneers, pernahkah bertanya-tanya pada diri sendiri tentang ‘apakah bisa diri kita memaafkan orang yang tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukan, atau bahkan orang tersebut tidak menyadari dia berbuat salah pada kita?’. Bahkan sangat mungkin kita merasa orang tersebut sangat tidak layak mendapatkan kata maaf.
Kenapa sih ada orang yang ngga merasa bersalah dan bahkan membantah bahwa dirinya berbuat salah?
Pioneers, dalam konstitusi psikologi, kondisi tersebut bisa terjadi ketika seseorang memiliki ego yang rapuh (fragile ego) dan memiliki harga diri yang rendah (low self-esteem). Individu ini dengan sadar atau tidak mengaktifkan mekanisme pertahanan ego (ego defense mechanism) untuk melindungi diri dari rasa bersalah. Ini adalah insting untuk pertahanan diri agar tetap merasa aman. Hanya saja sikap seperti ini tidak terlalu membantu dalam interaksi sosial yang sehat ya, Pioneers.
Memaafkan (forgiveness) bukanlah tentang sekadar menerima apa yang terjadi begitu saja atau berhenti merasa marah. Sebaliknya, memaafkan melibatkan transformasi sukarela atas perasaan, sikap, dan perilaku kita, sehingga kita tidak lagi didominasi oleh rasa benci dan dapat mengungkapkan belas kasihan, kemurahan hati, atau perbuatan baik terhadap orang yang berbuat salah kepada kita. Wah, terdengar sangat rumit ya, Pioneers! Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu Pioneers ketahui terlebih dahulu mengenai memaafkan itu sendiri.
Kita sangat mungkin melakukan pemaafan namun masih mengingat dengan jelas perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Bedanya adalah ketika kita memilih untuk memaafkan, saat kita mengingat perbuatan atau momen itu kembali, kita tidak terpancing oleh perasaan negatif. Kita bisa berjarak dengan perasaan negatif tersebut
Pioneers, setelah mengetahui empat hal di atas, maka jawaban atas pertanyaan di awal adalah BISA. Ya Pioneers, kita bisa memaafkan orang yang tidak merasa bersalah atau yang menolak mengakui kesalahan mereka pada kita. Pertanyaan selanjutnya adalah ‘Mengapa kita memilih untuk memaafkan seseorang yang tidak menunjukkan penyesalan atas perilakunya?’ Karena memendam rasa sakit hati, frustrasi, dan kemarahan akan lebih merugikan kita dibandingkan dengan orang yang menyakiti kita. Menahan maaf dan pengampunan akan menjebak kita, membuat pikiran dan emosi kita terikat pada semua hal negatif.
Perlu diingat Pioneers, alih-alih kita membiarkan kemarahan menggerogoti diri kita, cobalah mengumpulkan keberanian untuk memupuk rasa belas kasih/welas asih yang tulus yang akan membuat kita dapat melangkah lebih ringan dalam menjalani kehidupan ini. Memilih untuk memaafkan tidak perlu bergantung, menunggu, bahkan memaksakan pada penyesalan orang lain. Kita bisa memilih untuk pergi begitu saja.
Beberapa hal yang bisa Pioneers lakukan, yaitu:
Hati kecil kita memang menginginkan keadilan atas rasa sakit dan marah yang kita rasakan akibat perbuatan tidak menyenangkan orang lain. Namun, ingatlah bahwa kita juga tidak pantas menyimpan hal buruk atau racun dalam hidup kita. Melepaskan racun tersebut akan membuat kita lebih sehat dan tidak menyakiti diri sendiri terus-menerus.
Perasaan marah adalah perasaan yang sangat mungkin mendominasi. Namun, kita memiliki tanggung jawab untuk bukan hanya menyadari amarah tersebut melainkan mengeksplorasi, meregulasi atau mengelola rasa marah tadi sehingga tidak merambat dan bahkan memengaruhi keputusan dan keberfungisan kita sehari-hari.
Ketika memutuskan untuk memaafkan maka kita merubah fokus, yang awalnya menuntut keadilan, berharap orang lain menyadari kesalahannya, dan meminta maaf pada kita menjadi mengizinkan diri merasakan ketenangan, kebebasan, menumbuhkan kekuatan diri, dan fokus pada rasa cinta diri (self-love) sebagai bentuk tanggung jawab kita untuk merawat kesehatan mental. Kita juga perlu untuk membuat batasan (setting boundaries) agar kita dapat mengelola ekspektasi dan energi kita sehingga dapat memperkecil kemungkinan kita memperoleh perilaku yang sama atau lebih parah dikemudian hari.
Dengan mencoba menerapkan tiga hal di atas, Pioneers dapat merasakan manfaat dari memaafkan itu sendiri, seperti hubungan yang lebih sehat, peningkatan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, menurunkan rasa cemas dan stres, memperkecil intensi gejala depresi, sistem kekebalan tubuh lebih baik, dan peningkatan penghargaan diri (self-esteem). Namun, jika Pioneers merasa kesulitan menerapkan tiga hal di atas dan merasa bahwa situasi yang dirasakan sulit untuk dikendalikan sehingga berdampak pada kesehatan mental dan memengaruhi aktivitas sehari-hari, sebaiknya lakukan konsultasi dengan psikolog, ya.
Memaafkan berarti secara sadar mengingat apa yang terjadi dan dengan sengaja melepaskan rasa sakit yang menyertainya serta penderitaan yang ditimbulkan oleh rasa sakit itu. Forgiveness is a gift you give to yourself.
Referensi:
Staff, Clinic Mayo.2022. Forgiveness: Letting go of grudges and bitterness. Diakses pada https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/adult-health/in-depth/forgiveness/art-20047692#:~:text=Forgiveness%20can%20be%20hard%2C%20especially,other%20person's%20point%20of%20view.
Chi P, et al. (2019). Intrapersonal and interpersonal facilitators of forgiveness following spousal infidelity: A stress and coping perspective.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31347701/
Karremans JC, et al. (2010). Having the power to forgive: When the experience of power increases interpersonal forgiveness.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20693385/
Liu H, et al. (2020). Self-control modulates the behavioral response of interpersonal forgiveness.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7118213/
Toussaint TL, et al. (2012). Forgive to live: Forgiveness, health, and longevity.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21706213/