Yuk Mari Nutrisi Hubungan Romantismu Bersama Pasangan

18 Jul 2025, 17:50 WIB
Author: Maria T. Puspaningsih, M.Psi., Psikolog
romantisme hubungan romantis romantic relationship konseling pasangan
yuk-mari-nutrisi-hubungan-romantismu-bersama-pasangan
                

Ditulis oleh : Maria T. Puspaningsih, M.Psi., Psikolog (Psikolog Klinis Dewasa PION Clinician)

Hai, Pioneers! Memiliki relasi romantis yang harmonis, hangat dan menyenangkan adalah mimpi hampir setiap orang. Bisa bertemu dengan orang yang tepat dan membangun hubungan romantis yang sehat adalah salah satu faktor kebahagiaan seseorang. Namun seiring berjalannya waktu, seringkali romantisme dan kesenangan yang dirasakan menjadi berkurang. Hubungan terasa semakin “hambar” dan mulai membosankan. Oleh karena itu, hubungan romantis pun perlu selalu dipupuk dan dinutrisi agar selalu sehat, harmonis, hangat dan menyenangkan. Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa Pioneers coba lakukan untuk bisa menutrisi relasi romantis bersama pasangan. Yuk, kita simak!

  1.   Pahami bahasa cinta (love language) diri sendiri dan pasangan. Menunjukkan rasa cinta yang romantis ternyata juga bisa disesuaikan dengan kesukaan dan kenyamanan pasangan lho, Pioneers! Ada yang merasa happy ketika dipeluk atau dicium oleh pasangan (physical touch), ada yang merasa nyaman banget ketika bisa menghabiskan waktu berdua (quality time), ada yang merasa tersentuh ketika dikasih air minum waktu lagi fokus WFH (acts of services), ada yang merasa dihargai ketika diberi hadiah sesederhana apapun (receiving gift) atau sekedar dipuji “Kamu keren banget deh bisa berjuang sejauh ini. Makasih ya, udah mau berjuang bareng aku” (words of affirmation).
  2.   Bangun komunikasi yang sehat dan asertif. Kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami pasangan kita, selama apapun kita hidup bersama mereka. Manusia adalah makhluk dinamis yang selalu berkembang dan belajar. Maka, kalau ada sesuatu yang tidak Anda pahami atau bila ada sesuatu yang tidak Anda sukai dari pasangan Anda, bertanyalah dan jelaskan mengapa hal-hal itu mengganggu pikiran dan perasaan Anda. Buka kesempatan pada mereka juga untuk menjelaskan sudut pandang mereka dan diskusikan jalan tengah yang paling baik untuk satu sama lain. Belajar untuk “mendengarkan” dan bukan hanya “mendengar.” Be open to talk and explore one another ya, Pioneers! Don’t assume and judge each other.
  3.   Hormati dan hargai satu sama lain dengan 4 frasa sederhana: “Tolong,” “Terima kasih,” “Maaf” dan “I love you!” Meski sudah bersama, bukan berarti kita boleh berbuat seenaknya dengan pasangan ya, Pioneers! Menghormati dan menghargai satu sama lain tidak harus selalu dengan hal-hal yang luar biasa. Mengucapkan kata “tolong” sebelum meminta bantuan pasangan atau menyampaikan kata “Maaf” ketika melakukan sesuatu yang membuat pasangan merasa tidak nyaman, bisa menjadi hal paling sederhana yang bisa dilakukan untuk menunjukkan rasa menghormati dan menghargai pasangan Anda. Kuncinya: ketulusan dalam menyampaikan hal-hal tersebut ya, Pioneers!
  4.   Pahami bahwa setiap orang tetap memerlukan waktu untuk dirinya sendiri. Meski sudah menjadi pasangan, namun kita dan pasangan tetaplah individu yang tetap membutuhkan waktu untuk mencintai dan mengembangkan diri sendiri. Sadari dan pahami kapan satu sama lain membutuhkan waktu untuk sendiri. Beri ruang dan waktu untuk diri sendiri dan pasangan menikmati waktu secara mandiri, seperti jalan-jalan sendiri atau menikmati hobi masing-masing. Bila sudah punya anak, buat kesepakatan dengan pasangan untuk secara bergantian menjaga anak-anak, sehingga masing-masing bisa punya waktu dan ruang yang cukup untuk menikmati momen sendiri.
  5.   Tetaplah “berpacaran” dan “bersahabat” meski sudah menikah. Khusus untuk Pioneers yang sudah menikah, pernikahan seringkali jadi terasa membosankan, justru karena kita terlalu “terbebani” dengan status menikah yang terkesan sangat serius dan penuh tuntutan. Padahal, pernikahan pun bisa tetap seru dan menyenangkan kalau kita tetap terus “berpacaran” dan “bersahabat” dengan pasangan. Buat momen-momen spesial bersama pasangan seperti ketika pacaran dulu. Ciptakan momen-momen dimana Anda dan pasangan bisa menikmati waktu berdua, misalnya dengan makan malam romantis, staycation, atau sesederhana bersih-bersih rumah sambil saling menggoda dan bercanda satu sama lain. Boleh juga dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah waktu masih pacaran dan mengenang kembali bagaimana Anda dan pasangan menikmati waktu berdua saat itu.
  6.   Nikmati setiap momen bersama: baik momen yang baik dan membahagiakan, maupun momen yang buruk dan menyedihkan. Sudah menjadi kebiasaan kita untuk “hanya” menikmati saat-saat yang baik dan membahagiakan dan ingin segera keluar dari saat-saat yang buruk dan menyedihkan. Padahal dalam setiap perjalanan hidup, momen baik dan buruk datang silih-berganti dan tidak terelakkan. Nikmati saat-saat baik dan membahagiakan sebagai saat-saat yang menyegarkan hubungan. Nikmati saat-saat buruk dan menyedihkan sebagai sarana untuk semakin memperkuat hubungan dan kerja sama dengan pasangan. Setiap momen adalah kesempatan untuk bersama-sama bertumbuh dan saling mewujudkan cinta satu sama lain. Setiap momen adalah kesempatan untuk saling mengasihi, saling mengasah dan saling mengasuh satu sama lain.

Perlu diingat bahwa menutrisi hubungan untuk bisa tetap sehat dan membahagiakan bukanlah tanggung jawab salah satu pihak saja ya, Pioneers! Dalam suatu hubungan, keharmonisan harus diupayakan bersama dan menjadi tanggung jawab bersama. Hubungan yang baik bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses seumur hidup yang harus selalu dinutrisi agar tidak layu dan mati, melainkan berbuah lebat bagi satu sama lain. Bila Pioneers merasa hubungan Anda dengan pasangan mulai terasa tidak menyenangkan, dingin atau membosankan, dan butuh bantuan profesional untuk kembali menutrisi hubungan Anda dengan pasangan, jangan ragu untuk menghubungi PION Clinician ya! Para psikolog profesional kami akan dengan senang hati membantu Pioneers terkait masalah hubungan Anda dengan pasangan.

Author: Maria T. Puspaningsih, M.Psi., Psikolog
Editor: Maria T. Puspaningsih, M.Psi., Psikolog
Shares
×