Ketika Anak Menolak Sekolah: Memahami School Refusal dengan Empati dan Strategi yang Tepat

7 Nov 2025, 16:15 WIB
Author: Linda Maysha, M. Psi., Psikolog
school refusal perkembangan anak
ketika-anak-menolak-sekolah-memahami-school-refusal-dengan-empati-dan-strategi-yang-tepat
                

Ditulis oleh : Linda Maysha, M.Psi., Psikolog (Psikolog Pendidikan PION Clinician)

     Tidak sedikit orang tua yang dibuat bingung atau frustrasi ketika anak menolak untuk pergi ke sekolah. Ada kondisi penolakan yang segera membaik keesokan harinya, namun ada juga yang berlangsung lama dan melibatkan emosi yang intens pada anak. Contohnya adalah anak menolak pergi sekolah sampai menangis dan menampilkan keluhan fisik meskipun secara medis baik-baik saja. Bila seperti ini, maka yang terjadi bukanlah sekedar malas namun merupakan pertanda bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi pada diri anak. Dalam ilmu psikologi, kondisi ini disebut dengan School Refusal yaitu kondisi dimana anak secara berulang dan emosional menolak untuk pergi ke sekolah meskipun tidak ada alasan medis atau situasi yang terlihat mengancam mereka.

     Orang tua perlu untuk dapat membedakan mana kondisi School Refusal, dan mana kondisi hanya sekedar malas ke sekolah. Bila hanya sekedar malas, maka alasan yang melandasi lebih bersifat situasional atau sementara, seperti ingin bermain, menghindari ulangan, atau masih mengantuk. Selain itu, anak juga tidak menampilkan reaksi emosi yang ekstrem dan dapat segera membaik kondisinya. Sedangkan anak yang mengalami School Refusal biasanya menunjukkan reaksi emosional yang kuat terhadap ide pergi ke sekolah, seperti menangis, mual, sakit kepala, sesak nafas, atau bahkan tantrum. Penolakan ini sering kali disertai dengan kecemasan tinggi dan bisa berlangsung terus-menerus.

 

Apa penyebab School Refusal?

     School Refusal merupakan manifestasi dari berbagai kondisi psikologis yang dialami oleh anak. Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab School Refusal antara lain :

  1. Masalah Sosial : Anak mengalami kesulitan menjalin relasi sosial atau mengalami kendala dalam berelasi di lingkungan sekolah. Contohnya seperti menjadi korban perundungan/bullying, merasa tidak memiliki teman, atau merasa tidak diterima di lingkungan sekolah. 
  2. Trauma: Anak pernah mengalami kejadian yang membuatnya takut atau merasa tidak aman di sekolah, seperti kekerasan verbal dari guru, pelecehan, atau menyaksikan peristiwa traumatis. Selain di sekolah, trauma ini bisa saja terjadi di rumah seperti mengalami atau melihat tindak kekerasan di dalam keluarga.
  3. Kecemasan Berpisah (Separation Anxiety) : Umumnya ini terjadi pada anak-anak usia dini. Perasaan cemas berpisah dari orang tua bisa sangat kuat dan membuat mereka tidak mau pergi ke sekolah dan berpisah dari orang tua meskipun hanya beberapa jam saja.
  4. Tekanan Akademik: Anak mengalami tekanan berupa beban tugas yang berat, ketakutan gagal, atau adanya ekspektasi tinggi dari lingkungan yang membuat anak merasa tidak mampu, dan akhirnya memilih menghindari sekolah.
  5. Masalah Kesehatan Mental: Anak memiliki kendala psikologis seperti gangguan kecemasan, depresi, atau neurodivergent juga bisa mempengaruhi keinginan anak untuk bersekolah.


Bagaimana dampak bila
School Refusal tidak tertangani?

     Jika school refusal tidak ditangani dengan tepat, apalagi bila disalahartikan sebagai sikap manja atau pembangkangan, maka anak berisiko mengalami dampak psikologis yang lebih buruk dalam jangka panjang. Selain dampak pada kondisi psikologis, ini juga dapat berdampak pada prestasi akademik yang tertinggal, yang mana hal ini dapat membuat anak merasa bahwa dirinya “bermasalah” dan “berbeda” dari teman-temannya. Orang tua atau guru yang merespons dengan paksaan atau hukuman, tanpa memahami akar permasalahannya, juga dapat memperburuk keadaan. 



Kapan Perlu Asesmen Tumbuh Kembang atau Trauma?

     Semakin cepat terdeteksi dan ditangani, tentu akan lebih baik bagi anak karena segera mendapatkan bantuan yang ia butuhkan. Penanganan pertama yang diperlukan oleh anak adalah orang tua yang menjadi pendengar tanpa memberikan nasihat atau judgement apapun, sembari berkoordinasi dengan konselor sekolah atau wali kelas. Orang tua perlu mempertimbangkan untuk berkonsultasi ke psikolog bila kondisi yang dialami anak adalah :

-  Menolak pergi ke sekolah selama dua minggu secara konsisten

- Menunjukkan gejala cemas berlebihan, keluhan fisik tanpa sebab medis jelas, atau perubahan perilaku drastis.

-   Ada dugaan bahwa anak mengalami peristiwa traumatis di sekolah atau di rumah

-   Anak memiliki riwayat gangguan psikologis seperti gangguan emosi dan tumbuh kembang

Pemeriksaan psikologis ini bertujuan untuk membantu mengidentifikasi penyebab dari School Refusal dan kemudian menjadi dasar penting dalam merancang intervensi yang sesuai.

 

Apa yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk membantu anak di rumah?

     Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua di rumah untuk dapat mendukung proses pemulihan anak yang mengalami School Refusal :

  1. Menjadi pendengar yang empatik: Beri ruang bagi anak untuk bercerita dengan nyaman. Jangan langsung menyela atau menghakimi apa yang mereka sampaikan. Terkadang, anak butuh merasa didengar terlebih dahulu sebelum bisa membuka diri.
  2. Validasi emosi anak: Akui perasaan takut, cemas, atau sedih yang anak rasakan. Misalnya dengan mengatakan, “Mama bisa lihat kamu benar-benar takut ke sekolah. Boleh cerita kenapa?”
  3. Libatkan profesional: Psikolog anak bisa membantu mengeksplorasi penyebab di balik penolakan, serta membimbing orang tua dan guru dalam membangun strategi yang tepat.
  4. Bertahap kembali ke sekolah: Kembali ke sekolah bukanlah hal yang mudah bagi anak, untuk itu dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar ia bisa kembali ke sekolah secara bertahap dan tanpa paksaan. Berikan apresiasi setiap kali anak berhasil ke sekolah meskipun belum bisa mengikuti kegiatan belajar secara penuh.
  5. Ciptakan rasa aman: Pastikan anak merasa didukung dan aman, baik secara emosional maupun fisik. Kepercayaan terhadap lingkungan sekolah harus dipulihkan secara perlahan.

     School Refusal adalah kondisi dimana anak butuh bantuan dan berproses untuk pulih. Dengan pendekatan yang empatik, dukungan profesional, dan kolaborasi yang baik antara orang tua dan sekolah, anak bisa kembali siap untuk belajar. Proses belajar dan berkembang dapat terwujud ketika anak merasa aman dan nyaman dengan dirinya sendiri, dengan lingkungan keluarga, dan lingkungan sekolah.

 

Daftar Pustaka:

  1. Egger, H. L., Costello, E. J., & Angold, A. (2003). School refusal and psychiatric disorders: A community study. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 42(7), 797–807.
  2. Heyne, D., Rollings, S. (2002). School refusal: It's not just about school. In M. Thambirajah (Ed.), Understanding school refusal: A handbook for professionals in education, health and social care.
  3. Heyne, D., King, N. J., Tonge, B. J., & Cooper, H. (2011). School refusal: Epidemiology and management. Paediatrics and Child Health, 21(11), 518–523.
  4. Kearney, C. A. (2008). School absenteeism and school refusal behavior in youth: A contemporary review. Clinical Psychology Review, 28(3), 451–471.
  5. Kearney, C. A., & Albano, A. M. (2004). The functional profiles of school refusal behavior: Diagnostic aspects. Behavior Modification, 28(1), 147–161.
  6. Last, C. G., Hansen, C., & Franco, N. (1998). Cognitive-behavioral treatment of school phobia. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 37(4), 404–411.
  7. Mian, N. D., & Soto, T. W. (2020). Addressing school refusal behavior: Evidence-based strategies for clinicians. Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North America, 29(3), 523–536.
  8. Muris, P., Merckelbach, H., Ollendick, T., King, N., & Bogie, N. (2000). Children’s fear and fearfulness: Two sides of the same coin? Behaviour Research and Therapy, 38(3), 301–311.
Author: Linda Maysha, M. Psi., Psikolog
Editor: Linda Maysha, M. Psi., Psikolog
Shares
×