Kalau Saya Sudah Berusaha Tapi Masih Merasa Gagal, Salahnya di Mana?

25 Jul 2025, 17:30 WIB
Author: Valerie Purnomo, M. Psi.., Psikolog
kegagalan mental health kesehatan mental high achiever
kalau-saya-sudah-berusaha-tapi-masih-merasa-gagal-salahnya-di-mana
                

Ditulis oleh : Valerie Purnomo, M.Psi., Psikolog (Psikolog Klinis Dewasa PION Clinician)

“Oh dear, I don’t want to be a burden

But could you please be a little more concerned with

The overactive mind of a believer 

The toxic thoughts of an overachiever”

(Toxic Thoughts, dinyanyikan oleh Faith Marie)

Pioneers, coba ingat kapan terakhir kali kamu merasa berhasil? Apakah saat kamu juara kelas atau lomba? Saat mencapai target dari atasan di tempat kerja? Atau mendapat pujian dari orang yang kamu sayangi? Apa sih yang kamu rasakan saat itu? 

Biasanya, saat kita berhasil melakukan sesuatu, kita merasa senang. Tapi bagaimana jika justru sebaliknya yang terjadi? Kita tetap dianggap lulus, mencapai target, bahkan dikagumi orang—namun kita sendiri tidak merasakan hal yang sama. Lalu, salahnya di mana?

Dalam membahas pengalaman ini, ada baiknya kita mengesampingkan penilaian salah dan benar. Pioneers bisa melihatnya dengan kacamata adaptif atau maladaptif. Pengalaman yang dijelaskan di paragraf sebelumnya bisa dianggap maladaptif ataupun adaptif. Kira-kira apa ya yang membedakan?

Pengalaman tersebut adalah motivasi sehat jika Pioneers tetap mengakui keberhasilan DAN tahu bahwa ada ruang untuk bertumbuh. Jika kita mengakui kemungkinan gagal, terbuka untuk mengalaminya, dan tahu bahwa kegagalan tidak menurunkan harga (worth) diri, maka persepsi tersebut adaptif. Pioneers akan merasa mampu mencapai tujuan, melakukan yang terbaik, namun tidak menyalahkan diri berlebihan jika gagal.

Sebaliknya, pengalaman tersebut bisa jadi maladaptif jika Pioneers menolak adanya kemungkinan gagal, sangat menghindarinya, dan merasa harga (worth) diri hanya ditentukan oleh hasil. Persepsi yang terlalu fokus pada hasil akan mendorong kita untuk mengesampingkan pentingnya proses dan melakukan apa saja demi hasil semata. “Apa saja” yang dimaksud bisa berarti tindakan yang justru menyakiti diri sendiri maupun orang lain, seperti menumpuk banyak “keharusan” (shoulds) yang harus dipenuhi. Akibatnya, Pioneers melupakan bahwa kita tetap berharga (worthy) terlepas dari pengalaman berhasil atau gagal.

Sayangnya, memang sulit untuk selalu mengingat bahwa keberhargaan Pioneers tidak selalu melekat pada keberhasilan. Ekspektasi dan respon lingkungan terhadap keberhasilan dan kegagalan yang kita alami, membentuk persepsi kita terhadap keberhargaan diri. Bahkan persepsi tersebut juga bisa terbentuk dengan melihat respon lingkungan terhadap keberhasilan atau kegagalan orang lain.

Persepsi keberhargaan kita kemudian tercermin dari cara kita mengevaluasi diri. Evaluasi diri yang keras dan penuh penghakiman disebut dengan kritik diri (self criticism). Kritik diri memiliki dua bentuk: kritik diri internal (Internalized Self-Criticism) dan kritik diri perbandingan (Comparative Self-Criticism). Kritik diri internal adalah menilai diri buruk berdasarkan standar dalam diri yang terlalu tinggi, kemudian membenci bagian diri yang dianggap buruk. Kritik diri perbandingan adalah menilai diri buruk berdasarkan standar luar diri, kemudian merasa rendah diri.  

Kritik diri inilah yang membuat Pioneers merasa tidak cukup, bahkan saat objektif kita tidak gagal. Pemikiran dan perasaan yang muncul dari kritik diri akan membuat Pioneers semakin terpuruk. Semakin sering dan intens kritik diri dilakukan, maka semakin tinggi kemungkinan pengalaman tersebut menjelma jadi gangguan psikologis seperti gangguan kecemasan dan depresi.

Tentunya ada yang bisa Pioneers lakukan untuk mengurangi tindakan kritik diri (self criticism). Pioneers perlu melakukan kebalikan dari kritik diri, yaitu welas diri (self compassion). Welas diri adalah memperlakukan diri kita–baik pemikiran, perasaan, dan sensasi tubuh–dengan pemahaman dan kasih sayang ketimbang penghakiman. 

Di saat kalut dan penuh kecemasan, tentunya sulit untuk mengingat hal-hal positif terhadap diri sendiri. Bahkan Pioneers belum tentu akan ingat untuk mendekati pemikiran dan perasaan secara welas diri. Jangan khawatir Pioneers, hal itu sangat lumrah terjadi. Pioneers bisa mulai untuk berwelas diri dengan melambatkan diri (slow down) lewat pernapasan dalam. 

Teknik sederhana ini dapat memberikan dampak jangka panjang jika sering dilatih. Berikut adalah langkah kecil untuk melakukannya:

  1. Pioneers dapat memulai dengan duduk atau rebahan di tempat yang nyaman
  2. Bernapas lewat hidung selama 4 detik.
  3. Tahan selama 2 detik. 
  4. Keluarkan lewat hidung selama 6 detik. 
  5. Beri sedikit jeda sebelum memulai kembali.
  6. Latih teknik ini sampai terasa mudah dilakukan.

Pernapasan yang diharapkan dalam teknik ini adalah pernapasan perut. Pioneers dapat mengetahui pernapasan ini dengan menaruh tangan di bagian dada dan perut, lalu merasakan naik turunnya perut setiap bernapas. Lumrah kok jika kamu belum langsung bisa melakukannya, Pioneers. Ingat, bisa karena biasa. 

Luangkan waktu sekitar 10-20 menit per hari untuk melatih teknik pernapasan ini. Tentunya durasi tersebut bisa dipenuhi dengan fleksibel: terpenuhi langsung sekali jalan atau dibagi menjadi durasi yang lebih singkat namun beberapa kali. Jika gejala kritik diri yang dialami sulit untuk dihadapi sendiri, tidak masalah untuk meminta bantuan dari psikolog profesional PION. Mereka akan dengan welas asih mendampingi Pioneers semua.

“Aku utuh dan punya ruang untuk berkembang.”

“I am whole as I am and there is room for growth.” 



Referensi

Center for Clinical Interventions. (2017). Self Compassion. https://www.cci.health.wa.gov.au/resources/looking-after-yourself/self-compassion

McIntyre, R., Smith, P., Rimes, K. A. (2018). The role of self-criticism in common mental health difficulties in students: A systematic review of prospective studies. Mental Health & Prevention, Volume 10, Pages 13-27, ISSN 2212-6570, https://doi.org/10.1016/j.mhp.2018.02.003.

Syamila, D., & Wahyuni, E. (2023). Kritik Diri dan Kelenturan Psikologis pada Mahasiswa Indonesia: Implikasi Terhadap Intervensi Acceptance and Commitment Therapy (ACT). Jurnal Paedagogy, 10(3), 723-732. doi:https://doi.org/10.33394/jp.v10i3.7736

Wong, M.Y.C., Fung, H.W., Wong, J.YH. et al. (2025). Exploring the longitudinal dynamics of self-criticism, self-compassion, psychological flexibility, and mental health in a three-wave study. Sci Rep 15, 13878. https://doi.org/10.1038/s41598-025-95821-1

 

Author: Valerie Purnomo, M. Psi.., Psikolog
Editor: Valerie Purnomo, M. Psi.., Psikolog
Shares
×